Oleh: Idariani, S. Ag
(Mama Ahmad Afkar kelas V Al – Fattah)
Saya Idariani Rusli, Lahir di Reukih, Indrapuri, Aceh Besar 5 Mei 1977, Menempuh pendidikan mulai dari MI, MTs, MA, dan Pendidikan Agama Islam IAIN Ar-Raniry yang selesai pada tahun 2000. Setelah selesai kuliah saya mengabadikan diri menjadi guru honorer di beberapa sekolah yang ada di Aceh Besar maupun Banda Aceh. Karir sebagai guru PNS dimulai ketika saya diangkat sebagai guru pendidikan Agama Islam (PAI) pada SMP N 1 Indrapuri Acaeh Besar pada tahun 2007, selanjutnya saya dipindah tugaskan pada SMP N 1 Unggul Ingin Jaya Aceh Besar semenjak tahun 2020 sampai sekarang.
Menjadi seorang pendidik merupakan tugas mulia. Pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat untuk mendidik, membimbing, dan mengembangkan potensi peserta didik. Seorang pendidik harus mengetahui latar belakang , bakat minat serta kebutuhan peserta didik supaya pendidikan dapat berhasil sesuai kompetensi yang dimilikinya.
Setelah 23 tahun mengabdi sebagai guru, tentunya banyak pengalaman menarik yang kiranya dapat saya bagikan kepada seluruh masyarakat, terutama sejawat guru. Pada tulisan ini, saya akan membagikan pengalaman saya dalam membantu seorang siswa yang berasal dari keluarga mapan, namun hapir putus sekolah.
Pada awal semester genap tahun 2023, di kelas saya terdapat seorang siswa yang menurut motivasinya dalam bersekolah. Menurut pengamatan para guru, siswa bersangkutan tidak bersemangat bersekolah. Siswa tersebut sering membolos atau alpa untuk hadir ke sekolah, jikapun yang bersangkutan hadir ke sekolah, dia selalu tidur di kelas. Melihat fenomena tersebut, maka langkah pertama yang saya lakukan sebagai wali kelas dan juga guru adalah, mengajak siswa bersangkutan untuk berkomunikasi terkait dengan masalah yang dia hadapi, atau alasan yang bersangkutan menjadi malas sekolah, termasuk sering tidur di dalam kelas. Namun proses komunikasi secara pribadi yang saya lakukan tidak berjalan lancar, karena yang bersangkutan lebih banyak diam ketika saya bertanya.
Selanjutnya saya berusaha mencari tahu penyebab siswa tersebut bersikap tidak seperti biasanya. Saya mencoba untuk memanggil dia secara khusus di ruang konseling, dengan tujuan yang berdangkutan mau bercerita ketika kami hanya berdua. Benar saja, ketika di ruang konseling, siswa tersebut menangis sejadi-jadinya, sampai membuat saya panik, sambil menangis siswa tersebut menyatakan bahwa yang dia tidak mau lagi bersekolah, lebih jauh yang bersangkutan mengungkapkan keinginannya untuk lari dari rumah orangtuanya. Siswa tersebut mengungkapkan alasanya, dikarenakan kekecewaan terhadap orangtua kandungnya, terutama ibunya, yang selalu membanding-bandingkan dia dengan saudara kandung lainnya (abangnya).
Setelah mendengar cerita tersebut, saya berusaha untuk menenangkan dia supaya tidak kecewa dan putus asa sambil saya berjanji untuk membantu siswa tersebut menuntaskan masalahnya. Esoknya saya menghubungi orangtuanya untuk membicarakan masalah yang dihadapi siswa tersebut di sekolah. Di sekolah Saya mempertemukan anak dengan orangtuanya, saya meminta anak menjelaskan secara langsung permasalahan atau keluhan dia terhadap orangtuanya. Namun alangkah terkejutnya saya ketika mendapat respon dari orang tuanya yang menyalahkan dan menyudutkan anaknya seolah-olah kesalahan itu seratus persen dari anaknya, saya mencoba mengiba kepada mereka untuk memahami permasalahan yang dihadapi anaknya. Sebagai informasi tambahan, orangtua siswa tersebut memiliki jabatan dan pangkat yang tinggi, namun demi menyelamatkan hak si anak, saya memberanikan diri untuk memberi penjelasan kepada mereka bahwa anak tersebut butuh pengertian dan penghargaan supaya dia merasa sama dengan saudaranya.
Alhamdulillah semenjak pertemuan tersebut, orangtua mulai memahami kekeliruan yang mereka lakukan dalam mendidik anaknya. Mereka mulai memahami bahwa setiap anak merupakan individu yang berbeda, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, lebih jauh setiap anak ingin diperlukan sama dengan saudara-saudaranya, dan yang terpenting tidak ada siswa yang senang jika disbanding-bandingkan dengan saudara kandung, apalagi dengan orang lain. Setelah pertemuan tersebut orang tua mulai sering berkomunikasi dengan saya terkait dengan perkembangan anaknya. Orangtua sering bercerita melalui telepon terkait dengan perkembangan anak di rumah, dan mereka juga mulai sering meminta informasi terkait dengan aktivitas anaknya di sekolah.
Dengan adanya kolabarosi positif yang interal antara guru dengan orang tua, membuat siswa tersebut bersemangat kembali dalam belajar, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan pendidikan dan khabarnya sudah melanjutnkan ke jenjang yang lebih tinggi. Demikian pengalaman yang dapat saya bagikan, untuk memberikan gambaran ke pada teman-teman sejawat, bahwa dalam menyelesaikan permasalahan siswa, perlu dilakukan komunikasi dan kolaborasi antara guru dan orangtua.